Nadya Hafida
3 min readApr 12, 2023

Trigger warning : Passive suicidal ideation

Senin, 10 April 2023 gempa bumi dengan magnitudo 5.2 mengguncang daerah saya. Saya yang biasanya panikan dan pasti langsung refleks lari menyelamatkan diri memilih sengaja berdiam diri di kamar. Dengan posisi tengkurap, saya benamkan muka ke bantal. Saya pasrah kalau seandainya hari itu saya harus berakhir tertimpa reruntuhan kamar saya. Getaran gempa berlangsung selama lebih dari satu menit karena diiringi oleh gempa susulan dengan magnitudo 4.9 setelahnya. Entah kenapa saya merasakan secuil perasaan damai yang teramat sangat. Bahwa maut ternyata sedekat itu dan akhir dari nelangsa dunia yang fana ini sudah pasti terjamin.

Tahun 2021 saya pernah membuat tulisan tentang alasan untuk bertahan, yang sebagian besarnya saat ini sudah tidak relevan. Upaya cap-cip-cup yang sia-sia itu ternyata masih harus berlanjut di tahun-tahun setelahnya. Alasan-alasan duniawi nan materialistik tidak pernah mempan untuk menggugah jiwa saya yang sudah dicekoki ideologi “nerimo ing pandum” sejak dini ini. Jadinya ya, saya menyandarkan alasan-alasan untuk bertahan itu pada hal-hal remeh-temeh yang tidak signifikan. Misalnya mencoba satu-satu kedai mie ayam di seantero kota.

Saya pernah mencari-cari alasan untuk hidup pada kaitan makna yang saya lekatkan pada sosok orang. Tapi yang demikian tidak bertahan lama, karena saat orangnya pergi atau eksistensinya sudah tidak lagi terasa signifikan, hilang pula lah alasan itu. Dulu setelah ditinggal pindah A ke Bangkok, saya langsung menjadikan mengunjungi Negeri Gajah Putih itu sebagai tujuan utama dalam hidup. Namun ternyata A pun hanya menetap di sana tidak lebih dari 7 purnama dan langsung pindah ke Negeri Naga Biru setelahnya. Dalam jangka waktu tersebut saya juga menemukan objek infatuasi baru sehingga intensitas perasaan saya ke A memudar bahkan sudah tidak berbekas.

Tiga minggu yang lalu saya bertemu seseorang yang SES-nya mirip dengan A, maafkan penggunaan istilah market research ini, tapi saya tidak menemukan padanan kata yang tepat untuk mendeskripsikan orang dengan identitas kelompok yang sama tanpa terdengar ofensif. Saya dulu bucin banget ke A karena saya masih pakai scarcity mindset, saya pikir A adalah satu-satunya pria berkualitas yang dapat saya temui di sini. Ternyata setelahnya saya masih bisa menjangkau pria dengan kualitas yang setara (meskipun ujung-ujungnya dighosting juga).

Sebut saja pria baru ini K, soal konteks bagaimana pertemuan kami, mungkin saya akan cerita lain kali. Tapi kalian pasti sudah bisa menebak poin utama dari cerita ini. Yak betul, saya terlalu cepat melekat terlalu dalam. Karena didasari perasaan merasa tidak layak untuk diterima, tentu saja hasilnya penolakan.

Namun dari pertemuan singkat saya dengan K ini saya mendapat ide-ide konyol yang bisa dijadikan alasan remeh-temeh untuk bertahan. Saya benci merasa tidak layak. Berhubung K ini fancy tech bro lifestyle gadgets junkie, saya terpikir bahwa untuk merasa setara dengannya, setidaknya saya harus mampu menjangkau brand jam tangannya yang seharga motor saya yang belum lunas cicilannya itu.

Mulai hari itu saya menjadikan “cari duit sampai mampu kebeli jam Garmin” sebagai tujuan untuk melanjutkan hidup.