Healing After The Real Harm of Toxic Positivity In The Workplace

Nadya Hafida
9 min readApr 3, 2022

--

Uneg-uneg yang akan saya tuliskan kali ini sebenarnya sudah tertahan selama berbulan-bulan, pas relapse bulan Januari lalu sebenarnya sudah meledak namun saya masih denial dan belum sepenuhnya menyadari wujud sebenarnya perasaan ini dan akar permasalahannya. Perasaan intens yang saya rasakan berupa kombinasi antara marah, frustasi dan malu/merasa diri buruk & menyalahkan diri sendiri.

Seperti yang saya tuliskan di post sebelumnya, saat pertama kali diterima di tempat kerja yang kemarin semua hal terasa too good to be true, dan seiring waktu memang terbukti benar adanya.

Saya berusaha keras untuk berhati-hati & mencoba seobjektif mungkin dalam menceritakan ini, untuk memvalidasi pengalaman sulit, emosi negatif dan dampak psikis yang saya rasakan sekaligus tetap menunjukkan rasa tanggung jawab dan mengakui kesalahan saya.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya menerima pekerjaan dengan jobdesk menulis padahal tak nyaman melakukannya karena perasaan putus asa. Saat tempat lama kemarin membuka lowongan Digital Marketing dengan salah satu persyaratan terbiasa menulis saya tidak pikir panjang karena mengira itu bukanlah jobdesk utama. Saya tetap nekat melamar dengan denial pada diri sendiri atas nama “CAN DO ATTITUDE”. Ini kesalahan saya yang pertama, membohongi diri sendiri sekaligus (tanpa pernah bermaksud) membohongi orang lain.

Ternyata, alih-alih melakukan jobdesk Digital Marketing pada umumnya, jobdesk harian saya malah disuruh nulis artikel teknologi untuk website, yang mana saya awam di bidang itu. Ditambah adanya trauma dari pekerjaan content writer sebelumnya, alhasil nulis 1 artikel saja terasa berat bahkan kadang seharian tidak selesai. Saya stress berat sampai relapse depresi, namun tentu saja orang tidak tahu dan tak mau tahu, yang kelihatan dari sudut pandang mereka saya cuma underperformed dan nggak profesional.

Di sinilah awal mula permasalahan yang semakin memperberat gejala psikis yang saya rasakan. Atasan saya pada saat itu awalnya memperlakukan saya dengan hangat layaknya teman. Ini kesalahan saya yang kedua, terlalu personal dalam hubungan pekerjaan padahal ada pepatah “YOUR BOSS IS NOT YOUR FRIEND”. Seiring performa saya memburuk, hubungan saya dengan beliau juga memburuk.

Untuk ukuran atasan dengan perbandingan atasan-atasan saya sebelumnya yang saya nggak pernah berinteraksi langsung, beliau sangat baik, royal, apresiatif, akomodatif & suportif. Namun seiring waktu saya merasakan hal-hal yang (dalam konteks trauma masa kecil saya) menurut saya red flag.

Beliau adalah tipikal orang yang punya mindset “ONLY GOOD VIBES ALLOWED”, ini BIG RED FLAG pertama, tapi tentu saja saya menghiraukannya karena berpikir “Ah tapi orangnya baik kok”. Seiring berjalannya waktu, semakin terkesan bahwa beliau selalu memaksakan optimisme dan positifitas dengan tidak mentolerir negativitas sewajar/selumrah apapun. Misalnya, saya pernah posting story ini lalu besoknya saya diunfollow, saya langsung overthinking karena mengira saya akan dipecat hari itu juga.

IG story yang bikin saya langsung diunfollow

Karena saya terus-terusan kepikiran, saya memberanikan diri bertanya kenapa saya diunfollow, beliau bilang “Aku menjaga linimasaku biar tetap positif, no galau-galauan nggak jelas, berteman di real life bukan berarti harus berteman di sosmed kan”.

I was like….. “hehe iya maaf ko”. Di situ saya masih tidak mau menyadari kalau ini red flag karena berpikir “Oh mungkin karena culture di dunia sales marketing hotel jadi terbiasa dengan perez-perez-sugarcoating-happy-go-lucky-24/7 attitude”. BTW kami punya latarbelakang yang sama, sama-sama pernah bekerja di media online dan perhotelan jadi mungkin belio nerima saya karena merasa ada sense of commonality kali ya.

Selain itu, ada sesuatu tentang beliau dan dinamika hubungan kerja kami yang sangat mirip dengan dinamika hubungan saya dengan ibu saya, yang mana traumatis.

Antara lain berupa:

  1. Inkonsistensi sikap, sikap beliau yang satu ini menyumbang stress terbesar dalam pekerjaan saya sehari-hari. Sama seperti saya tak tahu kapan ibu saya akan memperlakukan saya dengan hangat penuh kasih atau galak dan membentak, saya pun tak tahu apakah hari ini mood dan kata-kata beliau akan baik atau nyelekit. Sikap ini sangat anxiety-inducing. Contohnya, di satu waktu beliau pernah bilang “Kamu ini pinter, sebenarnya sayang juga kalo cuma disuruh nulis blog”, tapi saat beliau marah beliau akan bilang “Kalau bukan menulis, emang selain menulis kamu bisa apa?”. Satu lagi, suatu waktu beliau menunjukkan bahwa beliau orang yang open minded dan aware dengan mental health, namun ternyata di saat yang lain beliau menunjukkan internalized stigma dengan bilang “Jangan sampai orang lain tahu kalau kamu punya mental illness, nanti orang pasti bakalan mikir macem-macem dan ngira kamu gila”.
  2. Cold/emotionally available. Saya ditelantarkan secara emosional sejak balita oleh ibu saya, saya tidak pernah merasa didengar, dimengerti, divalidasi emosinya, atau diberi afeksi saat menangis atau tantrum. Dinamika hubungan kerja saya dengan atasan saya ini mirip dengan dinamika hubungan saya dengan ibu tersebut. Saya selalu merasa disalahpahami karena kami memiliki perspektif yang berbeda dan sering tidak satu persepsi. Selain itu, seperti yang saya bilang tadi, beliau cenderung menginvalidasi emosi dan pengalaman negatif orang lain.
  3. Silent Treatment, setelah memberi teguran seringkali beliau tidak berkomunikasi dengan saya selama berhari-hari misalnya seminggu tanpa ada chat tentang pekerjaan. Membuat saya merasa kebingungan dan was-was karena takut buat menghubungi duluan, di sisi beliau saya dianggap mangkir dan sengaja menghilang/menghindar dari pekerjaan karena tidak menginisiasi komunikasi. Jadi saya juga merasa serba salah.
  4. Pasif Agresif, kecenderungan menyampaikan komentar negatif secara halus, tersirat dan terkadang terasa seperti menyindir. Contoh template kata-kata yang sering beliau bilang adalah “Aku nggak bermaksud X, TAPI [menyampaikan sesuatu yang mana sebenarnya adalah bentuk halus dari X], “Harusnya kamu bersyukur masih bisa dapat kerja, di luar sana bahkan banyak orang pinter yang nggak keterima kerja”, “Harusnya kamu bersyukur dapat tempat kerja seenak ini, di luar sana orang-orangnya lebih keras”, “Suka nggak suka emang begini realitanya, [insert Adulting/Dunia Kerja/Jakarta] keras sob”, “Ya maaf kalau kamu merasa kayak gitu..” (kok jadi kayak salahku karena merasakan perasaan yang kurasain??)
  5. Guilt-Tripping, saya paham nggak semua guilt-tripping adalah bentuk dari manipulasi, meski dilatarbelakangi dengan maksud baik atau memperhalus tetap saja ini destruktif. Saya mengakui kalau saya salah, namun memberi teguran dengan memantik rasa bersalah hanya akan membuat yang ditegur jadi merasa semakin buruk. Bentuk template guilt-tripping yang sering beliau bilang contohnya “Kita sebenarnya nggak ada budget buat hire staff lagi karena belum ada klien, [TAPI] aku meyakinkan manajemen [SEHINGGA] jadilah sekarang kamu bisa diterima bekerja”. “Sebagai atasan aku udah baik banget ngasih kelonggaran XYZ dan nggak micro-managing, di luar sana pasti banyak bos yang lebih parah” (yang mana benar, tapi hanya membuat saya merasa seolah saya yang tak tahu diri). “Selama aku berkarir baru kali ini aku [insert ngasih teguran/menemui permasalahan/mengalami konflik dengan bawahan] pada timku sendiri” (yang membuat saya seolah menjadi staff terburuk yang beliau temui selama perjalanan karir beliau).
  6. Fear Mongering, dari semua gaya komunikasi beliau, ini yang paling menjatuhkan mental. Sekali dua kali saya tidak menyadarinya karena berpikir “Ah niatnya baik kok buat memotivasi”, tapi seiring waktu ternyata pola ini konsisten. Beliau selalu menggunakan motivasi berbasis rasa takut, karena itulah yang selama ini selalu beliau lakukan untuk memotivasi dirinya sendiri, semacam coping mechanism pribadi yang tanpa sadar diproyeksikan kepada orang lain. Ini sangat triggering bagi saya, karena tumbuh dalam keluarga yang pas-pasan, kekurangan, keterbatasan dan kelangkaan adalah hal yang traumatis bagi saya. Template fear mongering yang sering beliau pakai adalah [menyatakan keterbatasan kesempatan/kekurangan diri] + [satu-satunya solusi untuk mengatasi itu adalah dengan bekerja keras]. Misalnya, “Dengan performa/mindset seperti ini kamu nggak akan bisa kemana-mana” (Menakut-nakuti dengan membatasi posibilitas). “Di sini kita bisa tergantikan kapan saja (oleh karena itu harus perform)”. “Buat orang kayak kita yang nggak terlahir dari sendok emas dan nggak punya privilege good looking, satu-satunya cara buat survive ya hanya dengan bekerja keras”. Setelah saya ingat-ingat, beliau selalu menggunakan kata “kita”, entah untuk memperhalus atau memproyeksikan ketakutannya sendiri.
    Setiap beliau mengatakan hal tersebut, saya selalu merasa bahwa kelemahan saya (trauma terhadap kekurangan dan kemiskinan) justru digunakan sebagai boomerang untuk menyerang diri saya sendiri. Ibarat VONIS yang dijatuhkan bahwa “dah lah kita ini memang nggak diuntungkan sejak lahir, terima saja kenyataan kalau harus hidup bersusah payah dengan bekerja keras”. Saya sudah pernah speak up tentang ini dan bilang ke beliau “Ko, kalau koko pikir dengan bilang begitu aku akan termotivasi, koko salah. Itu cuma bikin aku semakin pesimis, putus asa dan helpless karena merasa keterbatasan adalah mode defaultku jadi aku semakin nggak punya alasan untuk bersusah payah berusaha mengubah keadaan”.

Setiap kali beliau membawa-bawa kemiskinan dan status ekonomi saya dengan maksud untuk memotivasi, saya selalu dibuatnya merasa seperti saya adalah anak dari keluarga miskin paling tak tahu diri, karena sudah miskin tapi masih tetap saja KURANG BEKERJA KERAS.

Bagi seorang empath yang memiliki kepekaan (dan kerapuhan) emosional tinggi seperti saya, orang dengan kombinasi kepribadian Pragmatism + Toxic Positivity + Optimistic Nihilism seperti beliau bagi saya akan terkesan heartless, dingin, kaku dan nirempati. Oleh karena itu, sebaik apapun orangnya, akan tetap sulit bagi kami untuk selaras karena memang tidak sefrekuensi dan mempunyai pendekatan yang berbeda dalam memandang dunia. Saya tidak akan melabeli beliau toxic hanya karena perbedaan ini, but STILL if I could say, menurut saya beliau adalah decent boss with toxic positivity.

Waktu itu, bahkan saya sudah di tahap frustasi dan putus asa untuk mencari bagaimana caranya we could make it work, bahkan saya sampai minta bantuan bapak CEO untuk menengahi dan menyelesaikan konflik di antara kami (CEO kami menganut kultur inklusif dan kekeluargaan).

Namun selalu saja berhenti di kesimpulan “Oh mungkin karena dia terbiasa/dibesarkan dengan tough love/that’s just the way he coped with what he has been through/ini cara dia untuk menempa kamu (jadi maklumi aja kalau dia menggunakan pendekatan itu dalam pekerjaan)”.

Akhirnya saya pasrah untuk melepaskan sesuatu yang tidak selaras dengan saya dan sudut pandang yang saya yakini.

Saat saya menulis ini sekarang, kejadian itu sudah berlalu lebih dari dua bulan lamanya. Namun saya baru mampu memproses seluruh emosi negatif tersebut saat ini karena kemarin-kemarin selalu berpikir “Aku udah dikasih kesempatan bekerja, nggak tahu diri banget kalau aku mengeluh dan protes”. Ternyata denial justru sama sekali nggak membantu. Emosi negatif tersebut justru termanifestasi menjadi short temper dan irritability, juga mimpi buruk. Misalnya saya jadi sering marah dan triggered sampai comment war kalau nemu cuitan/postingan yang bernada sama dengan kalimat-kalimat toxic positivity yang sering beliau katakan (saya nggak bisa marah kepada beliau jadi melampiaskan kemarahan saya pada cuitan orang asing di sosmed).

Beberapa malam yang lalu pun saya bahkan sampai kemimpian sedang dievaluasi negatif oleh beliau. Makanya saya baru sadar kalo memendam emosi negatif ini sudah di tahap nggak sehat buat saya.

Lalu tadi selepas petang saya niatkan meditasi untuk memproses perasaan ini, seperti yang diajarkan psikolog saya untuk duduk dan mengkonfrontasi emosi negatif lalu rasakan bagaimana wujud dan sensasi fisik perasaan itu pada tubuh. Dan yang saya rasakan adalah tekanan intens di perut sampai ke diafragma, rasanya seperti memakai sabuk yang ditarik seketat mungkin, terasa sesak bahkan nggak bisa bernafas, lalu vision yang muncul ketika meditasi adalah; diri seolah sedang ditekan biar tenggelam ke dalam dan nggak diperbolehkan untuk menunjukkan sisi dan perasaan otentik diri, pundak tegang karena marah tapi tidak bisa diungkapkan jadi cuma bisa dilepaskan dengan lenguhan napas karena bagian perut terasa tertahan.

Gambaran tersebut sesuai dengan yang selama ini saya rasakan, yaitu saya selalu menganggap bahwa “diri saya yang rentan terhadap emosi negatif itu buruk’ dan ‘merasakan perasaan selain perasaan positif itu buruk/sesuatu yang salah dan tak seharusnya’ — maka dari itu saya harus disconnect dengan inner self dan perasaan saya sendiri.”

Untuk bilang bahwa pengalaman bekerjasama dengan beliau adalah traumatis mungkin berlebihan, namun tetap saja itu menimbulkan luka batin/psikis bagi saya. Dengan menulis ini, saya tidak sekalipun bermaksud menjelek-jelekkan atau dismissing kebaikan-kebaikan beliau yang lainnya, saya sangat mengapresiasi dan berterimakasih untuk itu. Namun perasaan negatif ini harus diproses supaya saya bisa pulih sepenuhnya sehingga saya mampu berdamai dan melangkahkan kaki ke depan.

Saya tahu risiko dari speak up tentang ini mungkin adalah putusnya silaturahmi, tapi dengan segala hormat dari lubuk hati terdalam saya minta maaf karena kali ini saya perlu mengutamakan kewarasan diri sendiri.

Update:

Setelah menulis ini, saya pikir saya bisa langsung tidur dengan tenang karena merasa semua uneg-uneg yang tertahan sudah saya ungkapkan. Namun ternyata sisa-sisa emosi negatifnya masih terasa di badan (tengkuk masih terasa berat, pundak masih terasa kaku dan tegang). Lalu saya kembali melakukan meditasi dengan meniatkan untuk melepaskan amarah, kekecewaan, kekesalan dan semua hurt feelings saya terhadap beliau.

Ketika meditasi, sensasi fisik yang saya rasakan adalah otot semakin tegang namun pundak dan tubuh serasi jatuh tertarik gravitasi, bukan terjengkang ke depan namun ngedrop semakin rendah yang seperti ini:

limbo game

Lalu gambaran vision yang hadir adalah tubuh saya semakin menyusut dan terus mengecil hingga menjadi titik. Kemudian di kepala terdengar suara yang bilang “Kamu kecil, kamu remeh, kamu rendah, kamu undeserving, dunia cuma milik para hustlers, pengeluh sepertimu nggak layak untuk sukses”.

Suara ini berasal dari inner critic saya yang menginternalisasi mindset, sudut pandang dan perkataan yang selalu dibilang atasan saya bahwa saya ini simply CUMA kurang BEKERJA KERAS.

Saya dibikin percaya bahwa diri saya buruk dan memalukan karena tidak mempunyai etos kerja ideal yang sesuai standar beliau (standar hyper-productivity hustle culture). Karena itu saya mulai menghakimi diri saya sendiri, menyebut diri malas, manja, nggak cukup berusaha/nggak cukup melakukan effort dan nggak mau bekerja keras.

Di sini lah letak eureka-nya, selain harus mencoba memaafkan beliau, ternyata saya juga harus memaafkan diri saya sendiri.

--

--