Reflections From ‘That’ Period of My Life (1)

Nadya Hafida
4 min readMar 15, 2022

--

Kalo ada yang nanya kenapa judul tulisan ini begini, saya juga bingung jelasinnya. Saya nggak pernah menggolongkan periode dalam hidup saya berdasarkan satuan waktu, jenjang, atau latar tempat tertentu, saya selalu menandainya berdasarkan pengalaman atau peristiwa signifikan yang terjadi dalam rentang waktu tersebut, jadi saya bingung menyebut periode kemarin apa. Bisa saja sih disebut “saat akhirnya pertama kali lepas dari label pengangguran”, “saat menjadi budak start up”, atau “saat menjalani kehidupan urban di kota metropolitan”, tapi ketiganya satu kesatuan dan saling berkaitan, jadi biar gampang mari sebut saja ‘waktu itu’.

Rentang ‘waktu itu’ nggak lama, cuma 7 bulan. Tapi rollercoaster banget. Rasanya kayak lagi main futsal sama Semesta dan kegocek berkali-kali.

Awalnya terasa seperti keajaiban yang unbelieveable banget. Tempat, lingkungan, orang-orang di sekitar dan perlakuan mereka terhadap saya, bahkan hingga nominal gaji, semuanya persis seperti apa yang sudah saya tuliskan di buku scripting.

Seiring waktu, semuanya terasa semakin ganjil. It felt right, but it didn’t feel good.

Rasanya kayak mengulang pengalaman buruk yang sama.

Menjalani jobdesk kerja harian yang saya benci dan nggak saya nikmatin sama sekali, yang mana melenceng banget dan nggak sesuai dengan titel pekerjaan (sama seperti sewaktu tinggal dan kerja di Jogja).

Relapse mental breakdown parah banget sampai fungsi sehari-hari terganggu, dan harus mencari pertolongan profesional di detik-detik terakhir sebelum meledak (sama kayak circa Sept 2019, bedanya kali ini nggak sampai suicide attempt).

Saya sadar kalo sesuatu terjadi berulangkali, berarti ada yang belum saya pahami pelajarannya dari kejadian sebelumnya. Tapi hidup nggak ada kurikulum atau silabusnya, jadi saya juga nggak yakin apakah ‘pelajaran’ yang saya petik ini beneran sesuatu yang harus saya pelajari, atau cuma tebak-tebakan sotoy saya aja. Namun setidaknya inilah beberapa pencerahan yang saya dapatkan:

Dengerin intuisi & jujurlah sama diri sendiri

Sebelumnya di banyak aspek kehidupan, saya terbiasa ‘settle for less’, nerima-nerima aja padahal nggak suka/nggak baik/nggak diuntungkan hanya karena takut kehabisan kesempatan. Termasuk dalam hal pekerjaan.

Awal saya terjun di dunia penulisan artikel di sebuah media online karena kewajiban mata kuliah Job Training 3 SKS dari kampus. Saat itu tahun 2017, semua teman-teman saya pada keterima di Pertamina, BUMN lainnya, instansi pemerintahan atau ahensi multinasional mentereng di Jakarta. Saya yang dulu kupu-kupu dan minim pengalaman kesulitan mencari tempat magang, akhirnya mau magang di manapun tempat yang mau menerima saya.

Saya nggak suka nulis artikel, lebih tepatnya saya nggak pernah suka nulis topik dan bahasan yang saya nggak tertarik/nggak peduli. Memang saya suka nulis, tapi nulis hal yang saya suka aja. Dan dulu saya pikir preferensi itu nggak valid karena anggapan “kalau ngaku suka nulis harusnya bisa nulis apapun dong”.

Masih denial, tahun 2019 saya kerja freelance di tempat yang sama, mengerjakan pekerjaan yang sama. Hasilnya? Relapse depresi, boro-boro bisa perform, bisa bangun dari kasur aja udah syukur.

Nggak belajar dari pengalaman, saya mencantumkan “Content Writer” sebagai jualan utama saya di CV, karena ya waktu itu memang pengalaman saya baru itu dan merasa nggak punya hal lain lagi yang bisa ditawarkan.

Setelah lulus dan menganggur 1,5 tahun saya keterima kerja di sebuah startup teknologi, titelnya sih Digital Marketing, tapi kerjaan saya cuma nulis artikel teknologi di website. Saya stress parah, setiap hari bangun jam 2 pagi-memulai hari dengan mengumpat-menatap kosong layar laptop sampai jam 6 pagi-mencoba menyelesaikan artikel kemarin yang belum selesai karena jam 8 pagi biasanya akan direview-nggak keluar satu kata pun-lalu seharian cuma nangis (bahkan sampai self harm)-dan lagi-lagi mengulang pengalaman seperti di Jogja & Bandung — relapse depresi dan tergopoh-gopoh datang ke poli psikiatri menjelang jam tutup.

Sejak saat itu saya menghilangkan semua kata “writing”, “content writer” atau apapun yang menandakan saya suka nulis di semua platform diri saya di internet. Saya nggak mau lagi orang berekspektasi dan menuntut saya untuk bisa menulis apa saja, termasuk hal-hal yang nggak saya suka.

Saya bertekad untuk jujur pada diri sendiri, untuk jangan pernah lagi mau-mau aja karena takut nggak dapat (kesempatan/pekerjaan/pasangan/dll).

Setelah saya amati polanya, setiap melakukan sesuatu yang saya benci pasti berujung frustasi, bahkan saya sampai mikir, seandainya dikasih 1M pun saya bakalan tetep nggak akan menikmati pekerjaan menulis artikel. Dari sudut pandang Human Design, memang seperti itulah ‘kodrat’ seorang Generator, tapi saya nggak bisa berargumen banyak karena belum belajar secara mendalam. Pokoknya menurut ilmu Human Design, tanda-tanda sesuatu baik bagi seorang Generator adalah ‘satisfaction’ dan tanda sesuatu buruk baginya adalah ‘frustration’. Saya mengimani itu karena terbukti melakukan pekerjaan menulis hal yang saya nggak suka/nggak tertarik cuma bikin saya frustasi, tapi menulis hal lain termasuk tulisan receh ini bisa & enjoy-enjoy saja.

Sebenarnya masih banyak poin pelajaran lainnya, tapi satu aja kok udah panjang banget. Ya sudahlah, dibikin bersambung aja. Tunggu aja kelanjutannya, itu pun nggak janji hehe ;)

--

--